BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Poligami merupakan suatu tindakan yang saat ini masih menjadi pro kontra di masyarakat.  Hal ini dikarenakana perbedaan pendapat / pandangan masyarakat. Masih banyak yang menganggap poligami adalah suatu perbuatan negatif.
Hal ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum ada Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan.
Tujuan hidup keluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya Polligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat menjadi hilang. Hal ini tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena mereka beranggapan tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun juga ada yang tidak setuju atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi dengan perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan poligami.
Berdasarkan uraian itulah kami memilih judul “ Suami Poligami Tanpa Izin Istri “ untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang permasalahan poligami yang masih menjadi pro kontra masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Hukum Berpoligami tanpa izin istri menurut fikih ?
2.      Bagaimana Hukum Berpoligami tanpa izin istri perspektif Sadd al-Dzariah?
3.      Bagaimana Penerapan Kaidah   الضرر يزال dalam masalah Hukum Berpoligami tanpa izin istri ?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui Hukum Berpoligami tanpa izin istri menurut fikih ?
2.      Mengetahui Hukum Berpoligami tanpa izin istri perspektif Sadd al-Dzariah?
3.      Mengetahui  Penerapan Kaidah   الضرر يزال dalam masalah Hukum Berpoligami tanpa izin istri ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Berpoligami tanpa izin istri
Poligami adalah ikatan pernikahan dimana seorang pria(suami) mempunyai beberapa istri dalam waktu bersamaan. Dasar diperbolehkannya poligami dalam islam adalah firman Allah SWT
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا[1].
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[2]

Fakta historis bahwa Rasulullah SAW dan banyak shahabat yang beristri lebih dari satu orang juga menjadi dasar diperbolehkannya berpoligami.
Oleh karna itu sangat aneh dan di sayangkan apabila ada kelompok umaat Islam yang menentang ajaran poligami, bahkan ada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terang-terangan anti poligami. Lebih aneh lagi ada pakar yang diberbagai seminar terkesan menentang poligami, tetapi yang bersangkutan sendiri dalam kehidupannya malah berpoligami. Kalau kita mau merenung sejenak dan berfikir jernih tentang poligami, maka pastilah kita sampai pada pertanyaan sekaligus pernyataan:
“ Allah SWT yang menciptakan manusia saja memperbolehkan poligami, Rasulullah SAW yang paling otoritatif memahami dan menjelaskan makna al Qur’an melaksanakan poligami, banyak shahabat yang mengikuti beliau berpoligami dan para ulama’ melanjutkanya. Lalu atas dasar apa kita mengharamkan, melarang, bahkan anti poligami?” apa di akhirat nanti kita siap berhadapan dengan Allah SWT, bertentangan dengan Rasulullah SAW, dan berlawanan dengan para sahabat dan ulama?. Menurut penulis, sebagai muslim yang taat, kita terima saja ajaran bolehnya poligami ini, sebagaimana ajaran bolehnya cerai.
Dalam perspektif hukum fikih, nikah (baik poligami atau bukan) dinyatakan sah apabila memenuhi ketentuan (syarat-rukun) pernikahan, yang terpokok adalah calon suami, calon istri, dua orang saksi, wali, akad (ijab dan qobul). Berdasarkan ketentuan tersebut maka pernikahan poligami tanpa seizin istri hukumnya adalah sah, halal dan tidak dihukumi zina.[3]

B.     Hukum Berpoligami tanpa izin perspektif Sadd al-Dzariah
Ulama fikih menyikapi bahwa poligami tanpa persetujuan dari istri di perbolehkan, karena pada zaman nabi poligami hanya untuk menolong janda dan dalam islam mendapatakan izin dari istri bukanlah syarat utama, tapi hal itu bertentangan dengan KHI dan UUP No 1 Tahun 1974.
Ketentuan pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada bab IX KHI, ternyata syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat substansial tetapi juga syarat-syarat formal. Pertama, pasal 55 yang memuat syarat substansial dari pendapat poligami yang melekat pada seorang suami yaitu terpenuhinya keadilan yang telah ditetapkan, bunyi dalam pasal 55:
1)      Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
2)      Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3)      Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Syarat ini adalah inti dari poligami, sebab dari sinilah munculnya ketidak sepakatan dalam hukum akan adanya poligami. Dan dipertegas pula didalamnya bahwa apabila keadilan tidak dapat dipenuhi maka seorang suami dilarang berpoligami. Kedua, pasal 56 yang berbunyi:
1)      Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2)      Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
3)      Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 56 diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami karena di Indonesia adalah negara hukum sehingga segala urusan hubungan manusia maka pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang yaitu Pengadilan Agama (PA). Ketiga, pasal 57, yang berbunyi:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
1)      Beristeri lebih dari seorang apabila :
2)      Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
3)      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
4)      Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 57 diatas merupakan syarat-syarat substansial yang melekat pada seorang isteri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupinya sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami untuk berpoligami. Keempat, pasal 58 yang berbunyi:
1)      Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
2)      Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
3)      Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 58 diatas merupakan syarat-syarat formal yang diperankan seorang isteri sebagai respon terhadap suami yang hendak memadu dirinya yang melibatkan instansi yang berwenang. Aturan-aturan ini sebagai antisipasi untuk menjaga hubungan baik dalam keluarga setelah berjalannya keluarga poligami. Kelima, pasal 59 yang berbunyi:
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Bunyi pasal 59 diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam menghadapi perkara poligami dari isteri yang saling mempertahankan pendapatnya. Dengan demikian ketentuan poligami dalam KHI tidak bertentangan dengan ruh nash.[4]
Dalam Undang-Undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk melakukan poligami, maka hukumdan juga agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yang demikian ini, perkawinannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhiberbagai persyaratan yang telah ditentukan dandiputuskan oleh pengadilan.[5] Dalam hal ini ada beberapa aturan atau Undang-Undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami antara lain:
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami
adalah pasal 3, 4 dan 5.[6] Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki
seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya
memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri isteri dan anak - anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri - isteri dan anak - anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinyatidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang - kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab -sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Menurut pandangan Quraisy Shihab menjelaskan sebagaimana ayat di atas tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang yang amat sangat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Quran hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[7]
Walaupun dengan alasan yang berbeda-beda, umumnya pemikir Islam modern, termasuk Muhammad Abduh berpendapat bahwa tujuan ideal Islam dalam perkawinan adalah monogami. Tentang konsep poligami, yang jelas-jelas tertulis dalam al-Quran, menurut sebagian dari mereka hanyalah karena tuntutan pada zaman nabi yang pada saat itu banyak anak yatim dan janda, yang ditinggal bapaknya atau suaminya saat berperang, sedangkan sebagian yang lain berpendapat, kebolehan berpoligami hanyalah bersifat darurat.[8]
Maka dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa poligami tanpa izin dari istri tidak di akui negara karena kita hidup di negara hukum maka kita harus mengikuti aturan-aturan negara

C.     Penerapan Kaidah   الضرر يزال dalam masalah Hukum Berpoligami tanpa izin istri.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kaidah الضرر يزال   berdasarkan hadith Nabi SAW لا ضرر ولا ضرار
Bila ditinjau dari aspek bahasa kata-kata dhoror dan dhiror mempunyai makna yang sama, namun obyeknya berbeda. Arti dhoror adalah perbuatan yang dilakukan seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri. Sementara dhioror adalah perbuatan yang bersifat intelerasi, yakni dilakukan oleh 2 orang atau lebih, dan berbahaya pada diri sendiri serta orang lain. Selain pengertian diatas, ada pula yang memberi makna dhoror sebagai perbuatan yang bermanfaat bagi pribadi. Tetapi berbahaya bagi orang lain. Sedangkan dhiror adalah bentuk pekerjaan yang membahayakan orang lain tanpa memberi manfaat pada si pelaku.
Para ulama’ berpendapat bahwa bab-bab fikih yang berdasarkan pada kaidah ini taak terbatas jumlahnya, seperti boleh mengembalikan mabi’ karna terdapat cacat, di syariatkan ta’zir, qishos, hudud, kafarat dan lain-lain.[9]
Salah satu cabang kaidah  الضرر يزالialah
درء المفاسد اولى من جلب المصالح.[10]
Menolak kerusakan lebih utama dari pada menarik maslahat(kebaikan)

Maka dari kaidah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa poligami mengandung dampak positif dan negatif.
Diantara dampak negatif poligami :
1.      Mendapat tekanan social (masyarakat menganggap buruk pelakunya)
2.      Mendapat tekanan legal (bagi pegawai negeri: poligami dilarang)
3.      Mendapat tekanan ekonomis (diperlukan biaya besar untuk memadu)
4.      Kadang bisa mendapat tekanan politis
Diatara dampak positif Poligami :
1.      Terhindar dari maksiat dan zina
2.      Meperbanyak keturunan
3.      Melindungi para janda, perawan tua dan kelebihan perempuan
4.      Kebutuhan sex suami terselesaikan saat istrinya melahirkan, haid, sakit, uzur dll
5.      Istri terpacu untuk melakukan yang terbaik bagi suaminya karena ada yang lain
6.      Melatih kesabaran dan menekan egoisme
7.      Anak yang dilahirkan menpunyai legal formal
8.      Status yang jelas bagi bagi perempuan
Maka dari alasan tersebut isteri mempunyai alasan untuk menolak di poligami:
1.      Kehilangan cinta dan kasih sayang suami
2.      Membayangkan kemesraaan suami dengan madunya
3.      Takut harta benda suami akan berpindah pada madunya
4.      Berprasangka buruk dan curiga yang berlebihan
5.      Cemburu kepada anak-anak madunya
6.      Takut hak warisnya berkurang
7.      Takut ditinggalkan suami
Maka jelas poligami tanpa se izin isteri tidak di perbolehkan karena mengandung madharat yang lebih besar dari pada kemaslahatanya. Oleh karena itu menolak madharat yang di sebabkan poligami itu lebih utama dari pada kemaslahatan melakukan poligami.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hukum Berpoligami tanpa izin istri menurut fikih adalah di perbolehkan karena dalam islam persetujuan isteri bukan syarat sah pernikahan begitu pula poligami tidak membutuhkan izin isteri selagi bisa adil.
Hukum Berpoligami tanpa izin istri perspektif Sadd al-Dzariah adalah tidak di perbolehkan karena sudah termuat dalam KHI dan UUP No.1 Tahun 1974 bahwassaya pengadilan akan memberi izin ketikan sang isteri memberi izin.
Penerapan Kaidah   الضرر يزال dalam masalah Hukum Berpoligami tanpa izin, sesuai dengan cabang kaidah ini maka poligami tidak di perbolehkan karena mengahdung madharat yang harus di tinggalkan yang di hasilkan dari poligami
B.     Saran


DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an al-Karim.
Departemen Agama RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya. Menara Kudus: Kudus, 2006.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami. Yogyakarta: Academia, 1996.
Khusnan, M Yahya. Ulasan Nadham Qowaid fiqhiyyah Alfaroid Albahiyyah. Pustaka Al muhibbin: Jombang, 2011.
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia “Buku 1 Hukum Perkawinan.  pdf.
Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991.
Suyuthi (al). al-Asybahu Wal-Nadloiru. Darr al-Kuttub al-Ilmiyah: Beirut, 2012.
Zahro, Ahmad. Fikih Kontemporer “Menjawab 111 Masalah”. Unipdu Press: Jombang, 2012.



[1] al-Qur’an al-Karim, 4:3.
[2] Departemen Agama RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya.(Menara Kudus: Kudus, 2006), 77.
[3] Ahmad Zahro, Fikih Kontemporer “Menjawab 111 Masalah”. (Unipdu Press: Jombang,  2012), 201-203.
[4] Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia “Buku 1 Hukum Perkawinan, 10-11. pdf
[5] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,226
[6] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1991),289.
[7] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),410
[8] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Academia, 1996), 83
[9] M Yahya Khusnan, Ulasan Nadham Qowaid fiqhiyyah Alfaroid Albahiyyah, (Pustaka Al muhibbin: Jombang, 2011), 81-82.
[10] al-Suyuthi, al-Asybahu Wal-Nadloiru, (Darr al-Kuttub al-Ilmiyah: Beirut, 2012), 138.

Komentar

  1. The Star Group, an Australian company focused on tourism, casino
    The 의정부 출장샵 Star 진주 출장샵 Group, an Australian company focused 충주 출장마사지 on tourism, casino resorts and 동두천 출장샵 is responsible for the Sydney-based casino  Rating: 5 · ‎2 전라남도 출장안마 votes · ‎Price range: $$$$

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini