SHOHIH dan MUDHO’AF

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Shorof

Dosen Pengampu:
BAIQ TUHFATUL UNSI, M.Pd.
NIY. BAF2008020047



Oleh:
MUHAMMAD HIBRI NASYITH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)
TAMBAKBERAS JOMBANG
2016


DAFTAR ISI
Cover.............................................................................................................
i
Daftar Isi.......................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................
1
A.    Latar Belakang..................................................................................
1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................
1
C.     Tujuan Penulisan...............................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................
2
A.    Pengertian Fi’il Shohih.....................................................................
2
B.     Pengertian Fi’il Mudho’af................................................................
8
BAB III PENUTUP....................................................................................
12
A.    Simpulan...........................................................................................
12
B.     Saran.................................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA
















BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Bahasa Arab memegang peranan penting dalam peradaban dan perkembangan Islam karena merupakan bahasa Al-Qur’an dan mengingat banyaknya ilmuwan Islam yang menulis karyanya dengan bahasa Arab. Hal tersebut secara tidak langsung menuntut kita untuk mempelajari dan mendalami bahasa Arab, ditambah lagi dengan sangat berkembangnya bahasa Arab saat ini yang menjadikan bahasa Arab sebagai salah satu bahasa Internasional. Bahkan sudah banyak sekolah-sekolah yang menjadikan bahasa Arab sebagai pelajaran wajib dalam kurikulumnya.
Dalam bahasa Arab, tidak bisa dielakkan lagi bahwa kaidah memegang peranan sangat penting didalamnya.Terutama nahwu dan shorof. Karena kaidah menentukan bagaimana cara kita memahami bahasa tersebut dan membuat orang lain paham dengan apa yang kita ucapkan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas sedikit dari kaidah-kaidah shorof yakni fi’il shohih dan mudho’af.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan fi’il shohih?
2.    Apa yang dimaksud dengan fi’il mudhoaf?

C.       Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian fi’il shohih.
2.    Untuk mengetahui pengertian fi’il mudho’af.








BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Fi’il Shohih
Fi’il ditinjau dari segi binaknya terbagi menjadi dua, yaitu shohih dan mu’tal.[1]
1.    Shohih
Fi’il Shohih adalah fi’il yang huruf-hurufnya sepi dari huruf ‘illat, contoh:
نحو : كَتَبَ٬ ضَرَبَ٬ أَمَلَ  
Fi’il shohih terbagi menjadi tiga:[2]
a.    Salim
1)   Fi’il salim terbagi menjadi dua:
a)    Fi’il Salim Tsulasi, adalah fi’il yang huruf asalnya tidak berupa huruf ‘illat, hamzah dan tad’if.
نحو : ذَهَبَ٬ قَاتَلَ٬ أَكْرَمَ٬ تَبَاعَدَ٬ تَكَسَّرَ٬ اِجْتَمَعَ٬ اِحْمَرَّ٬ اِسْتَخْرَجَ
b)   Fi’il Salim Ruba’i, adalah kalimat yang fa’ fi’il dan lam fi’il pertama tidak sejenis.
نحو : دَخْرَخَ٬ تَرْجَمَ٬ بَسْمَلَ٬ سَبْحَلَ٬ حَمْدَلَ٬ هَيْلَلَ٬ حَوْقَلَ
Adapun dalam contoh قَاتَلَ٬ نَاصَرَ٬ أَكْرَمَ٬ أَسْلَمَ   اِعْلَوَّطَ رَوْدَنَ٬ هَوْجَلَ٬ بَيْطَرَ٬ شَرْيَفَ٬ semuanya merupakan fi’il salim, meskipun dalam lafadz tersebut terdapat huruf ‘illat dan hamzah, karena huruf ‘illat dan hamzah tersebut merupakan huruf tambahan.[3]



2)   Hukum-Hukum Fi’il Salim[4]
a)    Huruf-hurufnya tidak dibuang ketika bertemu dhomir dan ketika fi’il salim itu berubah kepada bentuk lainnya.
نحو : ضَرَبْتَ٬ ضَرَبَتْ٬ نَاصَرَ٬ أَكْرَمَ٬ اِسْتَغْفَرَ
b)   Harus disertai ta’ ta’nis apabila fa’ilnya muannas
نحو : ذَهَبَتْ فَاطِمَةُ اِلَى الجَامِعَةِ
حَمَلَتْه أُمُّه وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ
c)    Disukun akhirnya apabila bertemu dengan dhomir rafa’ mutaharrik (berharakat)
نحو : نَصَرْتَ٬ نَصَرْتِ٬ نَصَرْتُمَا
d)   Apabila bertemu dengan dhomir rafa’ yang disukun, maka diperinci:
1.    Difathah, apabila dhomirnya rafa’nya itu berupa alif
نحو : تَعَلَّمَا٬ نَجَحَا
2.   Didhommah. apabila dhomir rafa’nya itu berupa wawu
نحو : لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْظِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهُمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
3.   Dikasrah, apabila dhomirnya rafa’nya itu berupa ya’
نحو : تَذْهَبِيْنَ٬ تَجْتَهِدِيْنَ
b.   Mahmuz
1)   Pengertian
Fi’il mahmuz adalah fi’il yang salah satu huruf asalnya berupa hamzah.   Mahmuz terbagi menjadi tiga, yaitu mahmuz fa’, ‘ain dan lam.
نحو : أَخَذَ٬ تَأنَفَ٬ تَأَدَّبَ٬  اِيْتَمَنَ (مهموز الفاء)
 سَأَلَ٬ أَجْأَرَ٬ تَرَأَّدَ٬ اِبْتَأَسَ٬ اِسْتَرْأَسَ (مهموز العين)
قَرَأَ٬ أَبْرَأَ٬ تَمَالَأَ٬ تَصَدَّأَ٬ اِجْتَرَأَ٬ ( مهموز اللام)
2)   Hukum-Hukum Fi’il Mahmuz[5]
a)    Hukumnya fi’il mahmuz sama dengan hukumnya fi’il salim.
b)   أَخَذَ٬ أَكَلَ
hamzahnya dibuang ketika pada fi’il amar, kemudian hamzah wasol pada fi’il amar tersebut dibuang juga maka menjadi  خًذْ٬ كُلْ,[6] asalnya adalah (اُؤْخُذْ٬ اُؤْكُلْ), berkumpullah dua hamzah dalam satu kalimat dan hamzah yang kedua mati, maka hamzah yang kedua diganti dengan wawu karena huruf sebelumnya berharakat dhammah, maka menjadi (اُوْخُذْ٬ اُوْكُلْ), kemudian wawu dibuang karena penggunaannya sangat ringan, maka menjadi (اُخُذْ٬ اُكُلْ), kemudian hamzah washol dibuang karena sudah tidak ada gunanya maka menjadi (خًذْ٬ كُلْ)[7] sekalipun fi’il amar ini didahului oleh sesuatu.
نحو : خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَانُسْرِفُوْا 

c)    أَمَرَ٬ سَأَلَ
I’lalnya lafadz أَمَرَ sama dengan أَخَذَ Hamzahnya dibuang ketika pada fi’il amar, kemudian hamzah wasol pada fi’il amar tersebut dibuang juga karena sudah tidak dibutuhkan lagi, maka menjadi مُرْ٬ سَلْ dan apabila didahului oleh sesuatu maka hamzahnya dikembalikan lagi.
نحو : سَلْ بَنِى إِسْرَائِيْلَ٬ فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ
مُرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ٬ وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ
d)   رَأَى
Hamzahnya dibuang ketika pada fi’il mudhori’ dan fi’il amarnya.[8] Ketika pada fi’il mudhori harakat hamzahnya dilepas karena wataknya yang lemas ketika berdampingan dengan huruf yang mati, maka bertemulah dua huruf yang mati yaitu ra’ dan hamzah, kemudian hamzah di buang dan harakat yang terlepas diberikan pada ra’ maka menjadi يَرَىُ lalu ya’ nya diganti alif, karena ia berharakat dan terletak setelah harakat fathah, maka menjadi يَرَى, begitupun ketika lafadz tersebut terlatak pada fi’il amar.[9]
نحو : أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى٬ رَ الأَسَدَ


e)    أَرَى [10]
Hamzahnya dibuang ketika pada fi’il madli, mudhori’ dan amarnya (أَرَى٬ يُرِى٬ أَرِ) asalnya adalah (أَرْأَيَ٬ يُرْأِيُ٬ أَرِءِ).
1.    أَرْأَيَ, ya’ berharakat dan jatuh setelah huruf yang berharakat fathah maka diganti dengan alif, kemudian harakatnya hamzah dipindah pada fa’ fi’il (ra’), kemudian hamzah dibuang supaya tidak terjadi berkumpulnya huruf yang mati.
2.    يُرْأِيُ, beratnya ya’ menyandang harakat dhammah maka dhammah di buang,kemudian harakatnya hamzah dipindah pada fa’ fi’il (ra’), kemudian hamzah dibuang.
3.    أَرِءِ, setelah membuang lam fi’il, harakatnya  hamzah dipindah pada ra’, kemudian hamzah dibuang karena mengukuti fi’il mudhori’nya.


c.    Mudho’af
Fi’il mudho’af adalah fi’il yang huruf asalnya berulan-ulang dan bukan tambahan.
نحو : مَدَّ٬ مَرَّ٬ تَكَرَّرَ٬ اِنْفَضَّ
2.    Mu’tal 
Fi’il mu’tal adalah fi’il yang salah satu huruf asalnya berupa huruf ‘illat.
Fi’il mu’tal terbagi menjadi empat, yaitu:
1)        Mitsal
Fi’il yang fa’ fi’ilnya berupa huruf ‘illat, baik wawi maupun ya’i
نحو : وَضَعَ٬ وَكَّلَ٬ وَاعَدَ٬ أَوْجَهَ٬ اِتَّصَلَ (مثال واوى)
 يَسَرَ٬ يَفَعَ٬ يَبِسَ٬ يَمَّنَ٬ اِسْتَيْقَظَ (مثال يائى)
2)        Ajwaf
Fi’il yang ‘ain fi’ilnya berupa huruf ‘illat, baik wawi maupun ya’i.
نحو : صَانَ٬ نَوَّرَ٬ عَاوَنَ٬ أجَابَ٬ تَلَاوَمَ٬ اِعْتَادَ٬ اِسْوَدَّ٬ اِسْتَجَابَ
 (أجوف واوى)                 
 سَارَ٬ أَبَان٬َ تَبَايَنَ٬ اِنْمَاعَ٬ اِبْيَضَّ٬ اِسْتَبَانَ (أجوف يائى)
3)        Naqis
Fi’il yang lam fi’ilnya berupa huruf ‘illat, baik wawi maupun ya’i.
نحو : غَزَا٬ رَضِيَ٬ سَرُوَ٬ عَاطَى٬ تَعَدَّى٬ اِعْتَدَى (ناقص واوى)
 سَرَى٬ لَاقَى٬ أَدْرَى٬ تَلَقَّى٬ اِشْتَرَى (ناقص يائى)  
4)        Lafif
Fi’il yang dua huruf asalnya berupa huruf ‘illat. Lafif terbagi menjadi dua, yaitu mafruq (fi’il yang fa’ dan lam fi’ilnya berupa huruf ‘illat) dan maqrun (fi’il yang ‘ain dan lam fi’ilnya berupa huruf ‘illat.
نحو : وَقَى٬ وَلَّى٬ وَالَى٬ أَوْدَى٬ تَوَارَى٬ اِتَّقَى٬ اِسْتَوْفَى (لفيف مفروق)
 شَوَى٬ قَوَّى٬ أَرْوَى٬ تَدَاوَى٬ اِسْتَرْوَى (لفيف مقرون)



B.       Pengertian Mudho’af
Mudho’af secara bahasa adalah yang lipat dua (double),[11] dan merupakan isim maf’ul dari wazan مضاعفة yang mempunyai arti menambahi sesuatu.[12] adapun secara istilah adalah kalimat yang ‘ain fi’il dan lam fi’ilnya hurufnya sama.[13]
1.      Pembagian Mudho’ah
Adapun mudhoaf sendiri dibagi menjadi dua:
a.    Mudho’af Tsulasi Mujarrod atau Mazid
Adalah kalimat yang ‘ain fi’il dan lam fi’ilnya hurufnya sama.
نحو : مَدَّ٬ مَرَّ٬ تَكَرَّرَ٬ اِنْفَضَّ٬ اِمْتَدَّ
b.    Mudho’af Ruba’i Mujarrod atau Mazid
Adalah kalimat yang fa’ fi’il dan lam fi’il pertama sejenis   serta ‘ain fi’il dan lam fi’il kedua juga sejenis.[14]
نحو : تَلَأْلَأَ٬ تَزَلْزَلَ٬ طَأْطَأَ   
2.      Kaidah dan I’lalnya Fi’il Mudho’af
a.    Kaidah
 Apabila ada huruf yang satu jenis atau berdekatan makhrojnya berkumpul dalam satu kalimat, baik huruf yang awal itu mati ataupun hidup maka huruf yang awal harus di idhomkan kepada huruf yang kedua, sedangkan apabila hurufnya itu bertekatan makhroj maka huruf yang pertama harus dijadikan huruf seperti huruf yang kedua, karena beratnya pengulangan. Contoh مَدَّ٬ اُمْدُدْ asalnya مَدَدَ٬ اُمْدُدْ dan اِتَّصَلَ  asalnya اِوْتَصَلَ.[15]
b.   I’lal Fi’il Mudho’af[16]
1)   مَدَّ
مَدَّ asalnya مَدَدَ mengikuti wazanفَعَلَ , dal yang pertama disukun karena untuk memenuhi syarat idghom maka menjadi مَدْدَ kemudian dal yang pertama diidghomkan kepada dal yang kedua karena tunggal jenis maka menjadi مَدَّ.
2)   يَمُدُّ٬ مَدٌّ٬ مَمَدٌّ
يَمُدُّ٬ مَد٬ٌّ مَمَدٌّ asalnya يَمْدُدُ٬ مَد٬ٌّ مَمْدَدٌ mengikuti wazan يَفْعُلٌ٬ فَعْلٌ٬ مَفْعَلٌ harokatnya dal yang pertama dipindah pada huruf sebelumnya, maka menjadi يَمُدْدُ٬ مَدٌّ٬ مَمَدْدٌ  lalu dal yang pertama di idghomkan pada dal yang kedua, maka menjadi يَمُدُّ٬ مَد٬ٌّ مَمَدٌّ.
3)   مَادٌّ
مَادٌّ asalnya مَادِدّ mengikuti wazan فَاعِلٌ, dal yang pertama disukun sebagai syarat idghom, maka menjadi مَادْدٌ, lalu dal yang pertama di idghomkan pada dal yang kedua karena dua huruf itu sama, maka menjadi مَادٌّ.
4)   مُدَّ٬ٌّ لَاتَمُدَّ

Bina mudho’af ketika dalam keadaan jazem atau menyerupai jazem maka boleh di idghomkan dan boleh tidak.[17]
نحو : مُدَّ٬ اُمْدُدْ (شبه الجزم)
 لَاتَمُدَّ٬ لَاتَمْدُدْ (جزم)
Apabila di idgomkan maka yang kedua dari dua huruf yang sama harus diberi harakat terlebih dahulu.
a)        Jika huruf sebelumnya berharakat dhommah, maka huruf kedua boleh tiga harakat:
1.    Dhommah, karena mengikuti harakat sebelumnya.
نحو : لَاتَمُدُّ٬ مُدُّ  
2.    Fathah, karena fathah adalah harakat yang paling ringan.
نحو : لَاتَمُدَّ٬ مُدَّ
3.    Kasrah, karena kasrah adalah harakat yang asli untuk mengharakati huruf yang mati.
نحو : لَاتَمُدِّ٬ مُدِّ
b)        Jika huruf sebelumnya berharakat fathah atau kasroh, maka huruf kedua boleh dua harakat:
1.    Fathah
نحو : لَاتَفِرَّ٬ فرَّ
2.    Kasrah

نحو : لَاتَفِرِّ٬ فرِّ


3.    Hukum Idghom Pada Fi’il Mudho’af
a.         Wajib idghom
1)        Apabila dua huruf yang yang sejenis itu berada pada satu kalimat, baik kedua-duanya berharokat maupun huruf awalnya saja yang berharakat.[18]
نحو : مَدَّ اصله مَدَدَ
 مَدًّا اصله مَدْدًا
2)        Apabila bertemu dengan alif tasniah, wawu jama’, ya’ mukhotobah dan nun taukid.[19]
نحو :لَمْ يَمُدَّا٬ مُدَّا
 لَمْ يَمُدُّوْا٬ مُدُّوْا
لَمْ تَمُدِّي٬ مُدِّي
لَمْ يَمُدَّنْ٬ لَمْ يَمُدَّنَّ  
3)        Apabila disandarkan kepada isim dzohir atau dhomir mustatir.[20]
نحو : مَرَّ زَيْدّ بِأَحْمَدَ
 زَيْدَانِ مَرَّا٬ زَيْدُوْنَ مَرُّوْا
4)        Apabila bertemu dengan ta’ ta’nis.
نحو : مَلَّتْ فَاطِمَةُ
b.        Tidak boleh idghom
1)        Apabil bertemu dengan dhomir rafa’ mutaharik.[21]
نحو : مَدَدْتُ٬ مَدَدْتَ٬ مَدَدْنَا
c.         Boleh idghom dan boleh tidak
1)        Apabila dalam keadaan jazem atau menyerupai jazem.[22]
نحو : مُدَّ٬ اُمْدُدْ (شبه الجزم)
لَاتَمُدَّ٬ لَاتَمْدُدْ (جزم)


BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
1.        Pengertian Fi’il Shohih
Fi’il ditinjau dari segi binaknya terbagi menjadi dua, yaitu shohih dan mu’tal.
a.    Shohih
Fi’il Shohih adalah fi’il yang huruf-hurufnya sepi dari huruf ‘illat.
Fi’il shohih terbagi menjadi tiga:
1)      Salim
2)      Mahmuz
3)      Mudho’af
b.   Mu’tal
Fi’il mu’tal adalah fi’il yang salah satu huruf asalnya berupa huruf ‘illat
Fi’il mu’tal terbagi menjadi empat:
1)   Misal
2)   Ajwaf
3)   Naqis
4)   Lafif
2.        Pengertian Fi’il Mudho’af
Mudho’af secara bahasa adalah yang lipat dua (double), dan merupakan isim maf’ul dari wazan مضاعفة yang mempunyai arti menambahi sesuatu. adapun secara istilah adalah kalimat yang ‘ain fi’il dan lam fi’ilnya hurufnya sama.
Mudho’af terbagi menjadi dua:
a.       Mudho’af Tsulasi Mujarrod atau Mazid
b.      Mudho’af Ruba’i Mujarrod atau Mazid 



B.       Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

‘abd Hamid (al), Muhyiddin.  Durus al-Tashrif, pdf. Bairut: Maktabah al-‘Asyriyyah.

Gholayain (al), Musthafa. Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah. Bairut: Dar al-Kotob al-‘Ilmiyah, 2014.

Hisyam Kailani (al), Abi Hasan (al) Ali b.  Syarhu al-Kailani. Surabaya: Maktabah Imarah Allah.

Kholiq, Abdul. al-Tashrif al-Isthilahi. Nganjuk: PP. Darus Salam.
Malik, Ibnu. Syarah Ibnu ‘Aqil. Surabaya: al-Haramain Jaya.
Manaf, M. Abdul. Pengantar Ilmu Shorof. Nganjuk: PP. Fathul Mubtadiin.
Munawwir,Achmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia cet, ke 14 Surabaya: Pustaka Progresif.

Na’mah, Fu’ad. Mulakhos Qowa’id al-Lughoh al-‘Arabiyyah. Baitut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah.

Nadzir, Mundzir. Qowa’id al-I’lal fi al-Shorfi. Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad bin Nubhan.


[1] Fu’ad Na’mah, Mulakhos Qowa’id al-Lughoh al-‘Arabiyyah, (Baitut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah), 63.
[2] Musthafa al-Gholayain, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, (Bairut: Dar al-Kotob al-‘Ilmiyah, 2014), 39.
[3] Muhyiddin ‘abd al-Hamid, Durus al-Tashrif, pdf,  (Bairut: Maktabah al-‘Asyriyyah), 140.
[4] Ibid., 140.
[5] Ibid., 152.
[6] Ibid., 152.
[7] Mundzir Nadzir, Qowa’id al-I’lal fi al-Shorfi, (Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad bin Nubhan), 17.
[8] Ibid., 153.
[9] Abdul Kholiq, al-Tashrif al-Isthilahi, (Nganjuk: PP. Darus Salam), 18.
[10] Muhyiddin,  Durus al-Tashrif, 154.
[11] Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia cet, ke 14 (Surabaya: Pustaka Progresif), 822.
[12] Abi al-Hasan Ali bin Hisyam al-Kailani,  Syarhu al-Kailani, (Surabaya: Maktabah Imarah Allah), 14. 
[13] Abdul Kholiq, al-Tashrif, 5.
[14] M. Abdul Manaf, Pengantar Ilmu Shorof,  (Nganjuk: PP. Fathul Mubtadiin), 11.
[15] Mundzir Nadzir, Qowa’id al-I’lal, 15.
[16] Abdul Kholiq, al-Tashrif, 5.
[17]Ibnu Malik , Syarah Ibnu ‘Aqil, (Surabaya: al-Haramain Jaya), 202.
[18] al-Gholayain, Jami’ al-Durus, 67.
[19] Ibid., 68.
[20] Muhyiddin,  Durus al-Tashrif, 144.
[21] Ibid., 144.
[22] Ibnu Malik , Ibnu ‘Aqil, 202.

Komentar

Postingan populer dari blog ini